Hati hati di terminal Blok M
Metromini yang kutumpangi telah sampai di pintu masuk terminal Blok M Jakarta, baru saja turun dari mobil reyot itu, asap hitam mengepul keluar dari knalpot bus besar di depanku, timbal dan karbon monoksida yang berbahaya bagi kesehatan penuh berdesakan dalam asap hitam itu, segera ku tutup hidung, rasanya seperti berada di tengah awan hitam, dalam benak ku bertanya :
‘mana hasil uji emisi yang di gembar gemborkan pemerintah kota jakarta sejak 2009?”.
Kalau uji emisi berhasil, kenapa adalah masih ada asap ini, asap yang mengeruhkan bening udara, menyebarkan aroma kematian yang lambat tapi pasti, pantas Jakarta mendapat peringkat ketiga kota terpolusi sedunia dari WHO di bawah juara kelas Meksiko dan peringkat kedua yang diraih Thailand.
Tapi kali ini, Bukan masalah polusi yang akan ku ceritakan, bukan juga tentang kebersihan ataupun mobil-mobil reyot yang sering batuk dan kentut sembarangan, semuanya tahu tentang hal itu. Tapi ku hanya ingin bercerita tentang seorang manusia di sini di terminal ini, terminal yang berada di kebayoran baru, jakarta selatan, terminal yang memiliki 6 jalur, terminal yang di bawahnya terdapat mall besar.
Ku sekat halimun hitam dari mobil bus tak lulus uji emisi itu, ku masih harus melanjutkan perjalanan, sambil berjalan ku lihat pedagang kaki lima dengan lapak mereka yang memadati trotoar, padahal trotoar itu sebetulnya milik pejalan kaki, di belakang lapak kayu mereka tegak berdiri pohon-pohon angsana, daun-daun hijaunya begitu rimbun dan rindang hingga menjadi setengah atap pintu masuk terminal, syukurlah masih ada pepohonan besar di sini, setidaknya sedikit mamanjakan mata dari kegersangan.
Seorang pedagang kaki lima yang menjual jam tangan dan aksesorisnya sedang duduk termangu, tatapannya kosong, mungkin sedang memikirkan anak anaknya yang belum bayaran sekolah, atau istrinya yang minta uang belanja, atau atau dan atau, yang pasti tersirat kesedihan dalam tatapan kosongnya, Ia juga menjual tali jam tangan, ‘kebetulan’ pikirku, tali jam tanganku rusak, tapi di sebelah pedagang itu ada pedagang lain menjual barang yang sama, aku tak ingin mengusik tatapan kosong pedagang itu, biarlah ia hidup dalam dunianya sendiri.
Aku memilih pedagang satunya. Kulihat ada tali jam tangan yang sesuai dengan jamku.
“ bang, yang ini berapaan?” tanyaku membuka percakapan
“………. Ribu dek” jawabnya santai seperti tak perduli dengan pertanyaanku.
Aku sedikit terkejut, ‘mahal banget’ pikirku, rasanya aku makan getah nangka orang lain, ya getah nangka dari orang orang yang biasa nawar sampe nyekek leher penjual, harga barang di tawar sampai seperempat harga, mungkin juga karena kebiasaan menawar yang kurang berprikemanusiaan menjadikan si pedagang nekat menaikkan harga tanpa memikirkan kemanusiaan.
“……… ribu aja ya bang?” tawarku.
“wah kalo segitu nggak bisa dek, ya udah ade kurangin aja tapi jangan segitu” jawab si pedagang yang mulai sadar akan keberadaanku.
aku tahu benar harga yang ia tawarkan padaku dua kali lipat harga normal,
“ ya udah ………… ribu ya bang?” pintaku, harga yang ku pinta adalah harga normal di pasaran kaki lima.
Si pedagang bergeming
“jangan segitulah, coba kuranginnya yang pantas…..!” desak si pedagang dengan meninggikan sedikit nada bicaranya.
“ ya udah kalo gitu lain kali aja, makasih ya bang!” aku mengakhiri tawar menawar yang merugikan ini.
Si pedagang menarik lenganku, ah akhirnya ia setuju dengan tawaranku.
“ dek, cobalah kasih harga yang pantas!” desaknya
‘ni pedagang nyebelin banget’ pikirku, coba kalau ia hidup di zaman umar bin khatab, pasti udah kehilangan pekerjaan lantaran dagangnya gak ngenakin banget.
“…………….ribu bang!” aku menawar harga normal di tambah lima ribu.
Si pedagang bergeming, berpikir sejenak
“ masa segitu, dek kan tahu harga, cobalah kasih harga yang pantas!”
Si pedagang makin mendesak sambil memegang tanganku. Harga yang ia tawarkan terlalu mahal.
“harga yang pantes segitu bang” desakku tak mau kalah, si pedagang menggeleng tak setuju.
“ ya udah bang, lain kali aja, makasih….” Aku jadi malas membeli dari orang ngeyel seperti itu, sementara ia semakin keras memegangi tanganku, sejurus kulihat pedagang dengan tatapan kosong tadi terusik dengan tawar menawar kami, tapi kemudian melanjutkan tatapan kosongnya.
“ eh, bagaimana sih kamu ini, udah nawar gak mau beli..!!, si pedagang teriak di hadapan wajahku, ia melepas tanganku lalu dengan cepat merogoh saku bajuku, aku tepis keras keras tangannya, segera ku bergegas pergi dari pedagang aneh itu.
Pedagang itu menatapku sambil bergumam tak jelas, hanya kata monyet yang terdengar jelas dari mulutnya.
Comments
Post a Comment