Petang di Terminal Lebak Bulus, Jakarta Selatan.
Terminal Lebak Bulus, Jakarta Selatan
----- Di Trotoar depan terminal lebak bulus, di samping halte busway.
langit masih mengandung mega merahnya yang belum lagi hilang ditelan malam-------
Udara Jakarta masih seperti biasa, kotor dan berdebu ditambah bisingnya kernet kopaja dan metromini yang sibuk memburu penumpang, kuperhatikan pakaian dekil dan wajah kusut mereka bercampur dengan pantulan jingga cahaya lampu pinggir jalan, para kernet itu, oh bahagianya mereka, menjadi bagian dari kehidupan yang bekerja, kehidupan yang mencari nafkah biarpun dekil dan kumal tubuh mereka.
Petang ini, aku baru saja pulang setelah latihan karate di Dojo yang tak jauh dari terminal bau pesing ini, walau badan rasa pegal namun kuasik dengan lamunanku menyusuri trotoar yang putus-putus, rusak di sana sini, dan di pinggirnya dekat pagar jalan kulihat air yang belum merembas sepenuhnya ke dalam tanah, bau air itu menguap menusuk hidung, "mereka pikir jalanan ini toilet umum?" gumamku dalam hati.
Belum lagi kujauh berjalan tiba-tiba seorang ibu membuatku berhenti, lalu bertanya tanpa basa basi :
"dek, kalau ke parung naik apa ya?" tanya ibu itu yang menggunakan pakaian sederhana.
"oh, naik Angkot biru itu ya bu". jawabku sambil menunjuk sopan ke arah Angkot yang sedang mengetem, sang supir kulihat teriak "Parung Parung Parung!". Entah sampai kapan ia dapat bertahan dengan teriakannya, padahal urat di lehernya terus saja melemah, "tuhan berilah aku dan ia kehidupan yang lebih baik" doaku membatin.
"sudah jelas ada yang teriak arah parung, kok si ibu masih bertanya padaku, ah mungkin ia hanya ingin meyakinkan dirinya" ujarku dalam hati
"oh terima kasih ya dek". ucapnya datar,
"sama-sama bu" jawabku sambil memaksakan seutas senyum, habis sedari awal tak kulihat sesungging senyuman terangkat di bibir si ibu yang kecoklatan.
aku kembali berjalan, selang beberapa detik sang ibu memanggilku,
" dek, punya uang lebih nggak? " pinta si Ibu sedikit mendesak.
" Haduh bu, uang saya pas banget buat ongkos pulang". keluhku, dan memang benar hanya tersangkut 2 lembar uang bergambar pangeran antasari dalam dompetku.
"masa lima ribu aja nggak punya ?" bantahnya ketus, alisnya bertemu, mengernyit dan menatap tajam padaku seakan dia guru dan aku murid yang baru saja membuat kenakalan di kelas.
"oh kenapa orang ini" keluhku tak terucap.
"betul bu, uang saya cuma segini, hanya cukup buat ongkos, mungkin orang lain bisa bantu ibu" aku berusaha memelas agar dapat segera pulang.
aku melihat ada kepura-puraan dalam wajah ibu itu, otaknya masih waras menurutku, tapi lakunya membuatku tak nyaman, seakan ia menodongku.
"maaf ya bu, saya harus pulang, mungkin orang lain bisa bantu ibu". aku mohon diri dan mundur selangkah dari si ibu,
" heh, dasar pelit, bego,........!" teriak si ibu padaku.
Aku terus berjalan meninggalkannya, masih saja ku dengar rapalan kata kasar ibu itu bercampur bisingnya mesin bus-bus yang haus penumpang.
-tuhan tolonglah ia melalui orang selainku-
----- Di Trotoar depan terminal lebak bulus, di samping halte busway.
langit masih mengandung mega merahnya yang belum lagi hilang ditelan malam-------
Udara Jakarta masih seperti biasa, kotor dan berdebu ditambah bisingnya kernet kopaja dan metromini yang sibuk memburu penumpang, kuperhatikan pakaian dekil dan wajah kusut mereka bercampur dengan pantulan jingga cahaya lampu pinggir jalan, para kernet itu, oh bahagianya mereka, menjadi bagian dari kehidupan yang bekerja, kehidupan yang mencari nafkah biarpun dekil dan kumal tubuh mereka.
Petang ini, aku baru saja pulang setelah latihan karate di Dojo yang tak jauh dari terminal bau pesing ini, walau badan rasa pegal namun kuasik dengan lamunanku menyusuri trotoar yang putus-putus, rusak di sana sini, dan di pinggirnya dekat pagar jalan kulihat air yang belum merembas sepenuhnya ke dalam tanah, bau air itu menguap menusuk hidung, "mereka pikir jalanan ini toilet umum?" gumamku dalam hati.
Belum lagi kujauh berjalan tiba-tiba seorang ibu membuatku berhenti, lalu bertanya tanpa basa basi :
"dek, kalau ke parung naik apa ya?" tanya ibu itu yang menggunakan pakaian sederhana.
"oh, naik Angkot biru itu ya bu". jawabku sambil menunjuk sopan ke arah Angkot yang sedang mengetem, sang supir kulihat teriak "Parung Parung Parung!". Entah sampai kapan ia dapat bertahan dengan teriakannya, padahal urat di lehernya terus saja melemah, "tuhan berilah aku dan ia kehidupan yang lebih baik" doaku membatin.
"sudah jelas ada yang teriak arah parung, kok si ibu masih bertanya padaku, ah mungkin ia hanya ingin meyakinkan dirinya" ujarku dalam hati
"oh terima kasih ya dek". ucapnya datar,
"sama-sama bu" jawabku sambil memaksakan seutas senyum, habis sedari awal tak kulihat sesungging senyuman terangkat di bibir si ibu yang kecoklatan.
aku kembali berjalan, selang beberapa detik sang ibu memanggilku,
" dek, punya uang lebih nggak? " pinta si Ibu sedikit mendesak.
" Haduh bu, uang saya pas banget buat ongkos pulang". keluhku, dan memang benar hanya tersangkut 2 lembar uang bergambar pangeran antasari dalam dompetku.
"masa lima ribu aja nggak punya ?" bantahnya ketus, alisnya bertemu, mengernyit dan menatap tajam padaku seakan dia guru dan aku murid yang baru saja membuat kenakalan di kelas.
"oh kenapa orang ini" keluhku tak terucap.
"betul bu, uang saya cuma segini, hanya cukup buat ongkos, mungkin orang lain bisa bantu ibu" aku berusaha memelas agar dapat segera pulang.
aku melihat ada kepura-puraan dalam wajah ibu itu, otaknya masih waras menurutku, tapi lakunya membuatku tak nyaman, seakan ia menodongku.
"maaf ya bu, saya harus pulang, mungkin orang lain bisa bantu ibu". aku mohon diri dan mundur selangkah dari si ibu,
" heh, dasar pelit, bego,........!" teriak si ibu padaku.
Aku terus berjalan meninggalkannya, masih saja ku dengar rapalan kata kasar ibu itu bercampur bisingnya mesin bus-bus yang haus penumpang.
-tuhan tolonglah ia melalui orang selainku-
Comments
Post a Comment