putus sekolah !, lantas salah siapa?

     Tulisan ini bukanlah sebuah penelitian, tapi bisa dibilang sebagai jejak rekam pribadi pada realita sosial.

      Tempatku tinggal semakin jauh dari norma kesopanan, ada beberapa anak muda yang hobi sekali nongkrong dan ngobrol di malam hari, kadang sampai pagi, mereka kebanyakan adalah anak-anak putus sekolah, ingin sekali merangkul mereka, mendengar keluhan dari orang tua mereka yang jua tak mampu memberikan pencerahan pada sekelompok anak tanggung ini, membuatku pesimis, merasa tak mampu.

      Tak jarang banyak orang yang terganggu dengan kebiasaan mereka mengobrol malam hari, karena tempat mereka mengobrol biasanya di pinggir rumah orang lain, hal yang kurang baik yang kadang mereka lakukan adalah menenggak minuman keras, apa semua ini salah mereka? mereka putus sekolah apa berarti mereka yang memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah ? ada yang merasa terganggu dengan ulah mereka tapi hanya protes dengan keluhan.

       Aku berusaha menjawab dari apa yang kutahu tentang lingkunganku, kebanyakan orangtua berkata kasar pada anak mereka sendiri, lebih mengedepankan emosi, kerap kata-kata kasar terlontar dengan mudahnya gara-gara si anak minta uang sedang ibunya tak punya, merendahkan anaknya sendiri dengan kata-kata yang mencapnya bodoh, dungu, tolol, anak mereka teruslah yang disalahkan seakan anak mereka tidak datang dari perut mereka.

      Labelling, atau mencap seseorang bisa mempengaruhi kualitas psikis orang tersebut, tak ayal jika banyak orang tua di daerahku pusing karena anak mereka susah di atur, bicaranya kasar adalah hasil dari cap orang tua pada anaknya.

     Dan apakah kesalahan mereka putus sekolah padahal masih punya orang tua ? bukan mereka yang salah tapi orang tuanyalah yang tak mendukungnya untuk sekolah, berpasrah pada takdir kalau tak memiliki biaya, buktinya kukenal seseorang yang hanya menjadi penarik becak, dan istrinya yang membuka warung kecil-kecilan mampu menyekolahkan lima orang anaknya hingga lulus SMA, setelah tahu dari mana mereka mendapat uang, aku sedikir terpana, karena kebanyakan uang untuk sekolah adalah hasil pinjaman dari orang lain, ada keinginan maka ada jalan. di tambah lagi sekolah yang sedikit kehilangan citranya di masyarakat pinggiran, untuk apa sekolah kalau hanya habisin biaya, toh cuma ijazahnya saja yang di pakai untuk cari kerja. lulus sekolahpun masih tak tahu apa-apa, kalau sampai ada yang berpikir seperti itu, lembaga pendidikan mesti berbenah diri untuk tak sekedar belajar untuk ujan, selesa ujian tamat sekolah dan duarrrr,,,,, ilmu yang dimilk tak ada bedanya dengan sebelum sekolah.

     Tulisan ini hanyalah sebuah opini belaka, kita masih bisa terus belajar untuk memperbaik segalanya. dimulai dari lini terkecil dalam masyarakat yaitu keluarga. kabar baiknya ada seseorang yang sangat peduli dengan pendidikan yang di mulai dari keluarga, Ayah edy dengan program indonesian strong from homenya memberikan solusi bagi perubahan norma seperti yang saya ungkapkan di atas.

Comments

Popular posts from this blog

Pengalaman Membuat Cincau Hijau Sendiri :)

Pengalaman membuat SIM di Polres Tangerang

Toko buku bekas di pinggir terminal Blok M