Masih adakah Musim tersisa?
Minggu pagi sepupu kecilku dari bumi parahyangan sana mengirim sebuah pesan singkat
" a nuju aont ?" "kak sedang apa?" tanyanya dalam bahasa sunda
" nuju di bumi, kumaha kabar kaluargi di ciamis?" "lagi di rumah aja, gimana kabar keluarga di sana?" tanyaku yang juga dalam sunda
" sae a, mun nu di Tangerang kumaha kabarna?" "baik, kalau keluarga di Tangerang gimana kabarnya?".
" alhamdulilah sawangsulna" kemudian lanjutku " Ari di dinya nuju usum naon?" "kalau di sana sedang musim apa?"
" nj usum ngala pare, ri didinya nj usum naon?" "musim panen kak, kalau di sana?" ia balik menanyakan musim.
Aku berhenti sejenak, ia menanyakan tengah musim apa di kotaku tinggal, musim apa di sini? aku merasa sudah tak ada lagi musim di kotaku, maksudnya musim panen padi atau musim buah atau musim lainnya, di sini sudah tak ada lagi pepohonan, di sini sudah sangat sedikit sawah, tak banyak kegiatan masyarakat di sini, ikatan orang perorang rasanya hanya sebatas tahu nama dan dari mana, pribumi? aku pun bisa bibilang bukan sepenuhnya pribumi, tapi tanah kota ini membangun setengah dari tubuhku, aku bertanya, di sini apa yang ada di sini ?
" ari di die mah tos teu aya usum nanaon.." "kalau di sini udah ngga ada musim" jawabku.
sumber gambar : bubaglodjovicslike.blogspot.com |
Tak ada tempat canda tawa anak-anak, tak ada tanah lapang, maka kini saat anak-anak berlarian tertawa terbahak, jatuh berdiri, lari lagi di antara rumah rumah, orang dewasa hanya bisa marah dan marah mendengar celotehan mereka yang membut bising suasana.
Aku bingung dik, hendak jawab aku, di sini tak ada musim, setiap hari di sini sama saja, panas dan gersang, penuh dengan orang-orang yang semakin gemar menanam kontrakan.
Comments
Post a Comment